KUJANG SENJATA TRADISIONAL KHAS JAWA BARAT
Senjata tradisional adalah salah
satu produk kebudayaan yang sering kali menandakan suatu fungsi sosial. Selain
dapat digunakan untuk berlindung dari serangan musuh, senjata tradisional juga
biasanya digunakan untuk kegiatan seperti berladang, berburu, hingga untuk
keperluan upacara adat.
Setiap senjata daerah mempunyai karakteristiknya masing-masing, salah satu senjata tradisional yang banyak dikenal di masyarakat yaitu kujang, kujang merupakan senjata tradisional yang berasal dari provinsi Jawa Barat. Kujang asal kata dari Kudi Hyang atau Ku Dyah Hyang yang menunjuk kepada Ku Dayang Sumbi. Pernyataan tersebut sebagai wujud dari dimulainnya sistem ketatanegaraan di wilayah Nusa Kendeng atau Dwipantara (nama pulau Jawa saat itu).Salah satu nilai kujang terletak pada tingkat kelangkaannya. Berdasarkan fakta di lapangan banyak dari artefak kujang yang sudah di koleksi para kolektor di luar negeri. Bahkan di museum kota Delft Belanda memiliki koleksi kujang lebih dari 150 bilah dengan berbagai varian bentuk (termasuk kujang yang sangat langka). Kujang terdiri dari tiga unsur bahan bakunya, yaitu baja, besi dan pamor. Pada perkembangan berikutnya kujang bukan hanya sekedar senjata, tapi menjadi piandel (suatu alat untuk meningkatkan kepercayaan diri) juga menjadi simbol untuk mewakili status sosial pemakainya.
Sejarah Kujang
Kujang memiliki latar belakang
sejarah yang panjang, proses penciptaanya banyak dibahas dan dikaji pada
berbagai penelitian terdahulu. Berdasarkan bukti hasil temuan, banyak diantara
kujang yang diperkirakan dibuat sebelum zaman Pajajaran. Bahkan ada peneliti
kujang yang menyatakan bahwa kujang telah ada sejak zaman Taruma Nagara. Meski
kujang tidak pernah ditulis dalam prasasti, banyak bukti yang memperkuat
keberadaanya, seperti; situs megalithik Batu Kujang di daerah Sukabumi, temuan
kudi di kompleks candi Batujaya Karawang, relief candi Sukuh di Surakarta,
catatan Sir Stamford Raffles dalam buku The History of Java dan sebagainya.
Menurut hasil kajian Slamet Kuntjoro, diperkirakan sebelum teknologi logam
dicapai pada masa kebudayaan Dongson atau jaman perunggu, manusia telah
menciptakan berbagai bentuk dasar perkakas.
Senjata atau piranti yang khas
terbuat dari bahan dasar batu pipih, kemudian akibat perkembangan teknologi,
bahan baku dasarnya dibuat dari perunggu. Perkakas itu dipakai sebagai alat
pemotong, menebas dan dapat dilemparkan untuk mengenai sasaran binatang buruan.
Bentuk perkakas dari batu dan perunggu ini berkembang setelah teknologi besi
tempa dikuasai. Pendapat lain menyatakan, bahwa di wilayah Nusantara pada
umumnya perkakas “kudi” (secara perupaan menyerupai tanduk rusa) menjadi
senjata berburu dan alat pemotong. Kudi ditemukan di berbagai wilayah di
Indonesia, antara lain; kepulauan Alor, Jawa, Madura, Bali, Sumatera, Sulawesi
dan Kalimantan. Konon khodiq di pulau Madura berevolusi sebagai senjata umum
yang disebut “calok” atau kudi calok (calok Monteng) hingga mencapai bentuknya
(secara evolusif) yang sekarang kita kenal disebut celurit atau clurit.
Sementara di pulau Jawa pada umumnya
kudi mengalami evolusi bentuk dan berkembang menjadi bentuk perkakas yang
disebut bendo arit (kudi bendo) atau arit (secara fungsional). Kujang (untuk
wilayah Pasundan) adalah sebagai senjata yang memiliki nilai sakral dan mistis
(sarana ritual). Sangat jelas bahwa kudi dan kujang berkembang berbeda fungsi.
Kudi menjadi perkakas fungsional di Jawa bahkan mungkin seluruh Nusantara,
sementara kujang lebih spesifik berkembang dan berevolusi di wilayah Pasundan
Kujang berfungsi sebagai benda spiritual atau lebih dikenal dengan istilah
pusaka dan jimat (azimat). Multi fungsi kudi itu antara lain sebagai perkakas
pemotong padi (sabit), sebagai alat bela diri. Sementara kujang berfungsi
sebagai medium mistik, simbol status dan ajimat (pajimatan) atau sipat kandel
(piandel). Pada zaman Pajajaran Makukuhan atau Pajajaran awal (menurut
referensi yang ada) kujang telah mendekati kesempurnaan secara perupaan,
setelah direka atau di desain oleh para Mpu tersohor seperti Empu Windu Sarpa,
Mercukunda, dan Ramayadi. Sebagai sebuah obyek penciptaan, kujang tak lepas
dari pemenuhan kebutuhan ritual budaya yang sudah bergeser pada agama Hindu
Jawa. Kujang selain diciptakan sebagai pemenuhan kebutuhan ritual, dengan
sendirinya mengalami evolusi sebagai pelengkap nilai--nilai dari budaya Sunda
pada zaman itu atau tatanan dan penyatuan pemikiran menjadi dorongan untuk
memperkaya bentuk perupaan kujang, seperti bentuk-bentuk yang ditemukan
sekarang ini. Diperkirakan pada tahun 1170 M, kujang sebagai ajimat atau pusaka
(piandel) mulai digunakan oleh para petinggi dan bangsawan kerajaan Pajajaran
Makukuhan. Kujang berfungsi sebagai simbol statuskepangkatan, penghormatan
kepada para pemimpin yang berjasa besar pada negara, nilai sebuah ajaran dan
sebagainya (masa pemerintahan Prabu Kuda Lalean). Akibat hubungan antara
perkembangan sistem ketatanegaraan dengan ajaran Sunda Wiwitan (atikan Sunda
atau adab Sunda) perupaan bentuk kujang berkembang sebagai implementasi
pemetaan pulau Jawa (Ku Jawa Hyang). Bahwa apa yang disebut hebatnya kesaktian
orang jaman dahulu masih ditemukan pada budaya tutur (lisan).
Kujang Sunda
Kujang memiliki kekayaan bentuk dan
ukuran. Pada berbagai penelitian terdahulu hal belum dikaji secara mendalam
mengenai kujang dengan pemahaman tersebut. Keragaman perupaan kujang tersebut
sangat menarik untuk diteliti lebih dalam.Kujang pada awalnya merupakan
perkakas multi fungsi dan senjata. Hal tersebut dibuktikan dengan masih
dipergunakannya kudi dan kujang sebagai perkakas di beberapa daerah seperti
wilayah Banyumas (kudi), masyarakat tradisional Pancer Pangawinan di Cisolok
Kabupaten Sukabumi, dan Kanekes Provinsi Banten.
Berdasarkan bukti artefak yang
ditemukan di wilayah Kanekes (Badui) provinsi Banten, ternyata karakteristik
kujang yang dikategorikan sebagai perkakas multifungsi sangat berbeda karakter
dengan kujang yang menjadi senjata (pusaka) masyarakat Sunda. Bagi masyarakat
Kanekes kujang merujuk pada perkakas multi fungsi, yang umumnya oleh masyarakat
di luar Kanekes perkakas tersebut cenderung disebut parang. Dengan demikian
kujang yang dimaksud oleh masyarakat Kanekes merupakan sebuah perkakas yang
hanya memiliki fungsi atau nilai praktis, sementara kujang yang menjadi pusaka
Sunda dan objek dalam penelitian ini merupakan pusaka yang memiliki nilai
simbolis dan filosofis. Hal ini sangat menarik minat penulis untuk melakukan
kajian lebih dalam, karena teori tersebut sudah menjadi rujukan (kujang sebagai
perkakas multifungsi) dan pemahaman masyarakat secara umum. Ditemukannya
berbagai varian perupaan kujang dari berbagai wilayah di Jawa Barat sebagai
sampel penelitian, semakin menarik untuk ditelusuri lebih jauh.
Meski kujang ditemukan di berbagai
wilayah di Jawa Barat, hal ini tidak berarti kujang tersebut merepresentasikan
wilayah temuannya dan diciptakan di daerah tersebut. Kujang tidak dapat
disamakan seperti produk kerajinan yang menjadi ciri khas daerah tertentu
seperti batik. Batik dengan motif Merak Ngibing menjadi ciri khas wilayah Garut
dan Batik Mega Mendung menjadi ciri khas Cirebon. Sementara itu kujang dan
beberapa jenis tosan aji (yang berasal dari periode kuno) lainnya tidak seperti
itu. Kujang berhubungan dengan sesuatu yang lebih luas dan lebih kosmologis.
Menelusuri keberadaan kujang merupakan kegiatan yang sangat menantang, dan
seolah-olah memasuki wilayah rimba belantara budaya yang asing.
Kenyataannya banyak sekali kujang yang
sudah tidak utuh, dan menjadikan mata rantai sejarah terputus. Menemukan
berbagai perupaan kujang merupakan satu kebanggan tersendiri, artinya bahwa
kujang sebagai bukti sejarah berhasil diselamatkan. Penamaan dan klasifikasi
bentuk perupaan kujang pun sangat beragam, sehingga sulit untuk menentukan mana
yang paling sesuai dengan karakteristik bentuk kujang yang dimaksud. Sementara
salah satu bentuk kudi (bentuknya sama dengan kudi lama) masih banyak
dipergunakan masyarakat pedesaan di wilayah Cilacap, Banyumas, Purwokerto dan
sekitarnya. Apabila dikomparasikan dengan penamaan dapuran (disiplin perupaan
atau gaya perupaan) keris, seperti Bango Dolog, Kuntul Ngantuk, Banyak Angrem,
Kebo Theki dan sebagainya, panamaan tersebut tidak selalu didasarkan pada kemiripan
bentuk bilahnya. Keris dapur Bango Bolog sama sekali tidak mirip dengan burung
Bangau, dan keris dengan dapuran Kuntul Ngantuk sama sekali tidak menyerupai
burung Kuntul dan Kebo Theki tidak menyerupai seekor kerbau. Dalam disiplin
penamaan dalam tosan aji (keris dan tumbak) tidak selalu secara langsung
menyatakan hubungan dengan bentuk perupaannya.
Untuk memahami dan mengetahui latar belakang perbedaan prinsip dalam penamaan kujang dan jenis tosan aji lainnya diperlukan berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan tosan aji secara umum dan budaya Sunda. Kosmologi Sunda sebagai dasar dalam menganalisa dan mengkaji perupaan kujang diharapkan akan mengarahkan pada satu pemahaman nilai bentuk, penamaan, estetika, simbol dan makna filosofis yang terdapat pada setiap bilah kujang. Fenomena kujang sebagai nilai banyak dinyatakan dalam berbagai peri bahasa Sunda seperti, “Kujang di Hanjuang Siang Tujuh Ronggeng kala Sirna”, “Unggah Kidang Turun Kujang”, “Kujang dua Pangadekna atau Pangadegna”,”Kujang Keur naratas di Alam Pawenangan” , dan lain sebagainya.
Morfologi Kujang
Pemahaman kujang secara umum dan teori kujang yang dijadikan rujukan secara morfologi, memiliki kecenderungan kuat memberi penamaan kujang berdasar pada gejala mimesis. Secara umum dalam masyarakat Sunda gejala ini biasa disebut dengan istilah “siga” (menyerupai) dalam melihat berbagai fenomena perupaan. Seperti contoh penamaan kujang Kuntul, karena dianggap bentuk perupaannya menyerupai burung Kuntul, kujang Ciung karena dianggap bentuk perupaannya menyerupai burung Ciung dan sebagainya. Dengan analisis makna kujang di atas, maka kujang dapat diurai ke dalam morfologi bentuk kujang yang dipadankan dengan dinamika bentuk burung (manuk) dan proses kelahiran dan hidup manusia, sesuai dengan interpretasi yang terdapat pada Silib.
Kujang Sebagai
Gambaran Wilayah Kekuasaan
Pada zaman Pajajaran Makukuhan atau
Pajajaran awal kujang telah mendekati kesempurnaan secara perupaan, setelah
direka atau di desain pada abad 4-7 M oleh para Mpu tersohor seperti Empu Windu
Sarpa, Mercukunda, dan Ramayadi. Sebagai sebuah obyek penciptaan, kujang tak
lepas dari pemenuhan kebutuhan ritual budaya yang sudah bergeser pada agama
Hindu Jawa. Kujang selain diciptakan sebagai pemenuhan kebutuhan ritual, dengan
sendirinya mengalami evolusi sebagai pelengkap nilai-nilai dari budaya Sunda
pada zaman itu.
Perkembangan sistim dalam nilai atau
tatanan dan penyatuan pemikiran menjadi dorongan untuk memperkaya bentuk
perupaan kujang, seperti bentuk-bentuk yang ditemukan sekarang ini.
Diperkirakan pada tahun 1170 M, kujang sebagai ajimat atau pusaka (piandel)
mulai digunakan oleh para petinggi dan bangsawan kerajaan Pajajaran Makukuhan.
Kujang berfungsi sebagai simbol status kepangkatan, penghormatan kepada para
pemimpin yang berjasa besar pada negara, nilai sebuah ajaran dan sebagainya
(masa pemerintahan Prabu Kuda Lalean). Akibat hubungan antara perkembangan
sistem ketatanegaraan dengan ajaran Sunda Wiwitan (atikan Sunda atau adab
Sunda) perupaan bentuk kujang berkembang sebagai implementasi pemetaan pulau
Jawa (Ku Jawa Hyang). Bahwa apa yang disebut hebatnya kesaktian orang jaman
dahulu masih ditemukan pada budaya tutur (lisan ).
Catatan tersebut di temukan dan di
benarkan oleh Alexander Lee, seorang ahli okultisme dan guru besar metafisika
dari Amerika, catatan itu antara lain menyatakan, bahwa pada salah satu tapa
bratanya, Prabu Kudo Lalean pada masa kerajaan Pajajaran Makukuhan menemukan
gambaran visual atau penerawangan tentangbentuk bumi yang diinjaknya sekarang.
Maka Kudo Lalean meminta dilakukan pengkajian kepada para ahli penerawangan.
Empu Windu Sarpo juga membenarkan apa yang didapati secara visual Prabu Kudo
Lalean….. yaitu visualisasi dari pulau Jawa” (Ku Jawa Hyang). Kemudian setelah
itu, mandat diserahkan kepada Mpu Windu Sarpo sesuai hasil penerawangannya
berupa bentuk pulau “Jawa Dwipa”.
Catatan lain diungkapkan oleh Sulaeman Anggapradja dari Ciledug Garut yang meneliti kudi dan kujang. Sulaeman Anggapradja menemukan beberapa skrip berbahasa Jawa kuno yang menyatakan: “…Sebuah kujang yang disebut sebagai kujang kebesaran Prabu Wangi atau Sang Nata (raja Pasundan yang gugur dalam skandal perang Bubat tahun 1357M), berbentuk peta tanah Sunda (bukan pulau Jawa), luasnya sampai wilayah Jawa Tengah
Seperti yang sudah dikenal bahwa daerah Karawang sebagai lumbung padi Jawa Barat, dan ditemukannya situs-situs yang mengindikasikan eksistensi kerajaan Sunda (Candi Batu Jaya, Karawang pada masa Taruma Nagara). Bentuk estetika kujang bisa jadi adalah merupakan pelengkap ritual penggambaranburung sebagai simbol dari pencerahan (silib -siloka dalam bhasa Sunda). Apalagi jika meninjau kujang ramping.
Jenis-jenis Kujang
1.
Kujang
Cilung
Kujang ciung merupakan jenis kujang
yang paling banyak ditemukan dan punya banyak varian pengembangan bentuknya.
Mata yang terdapat pada kujang ciung berjumlah lima sampai sembilan. Bentuk
ciung melambangkan makhluk dunia kalangan atas. Itu sebabnya, jenis kujang ini
lebih sering dipakai oleh bangsawan yang berkedudukan tinggi, yaitu raja, prabu
anom (pewaris tahta), dan brahmesta (pendeta agung kerajaan).
2.
Kujang
Kuntul
Kujang kuntul
memiliki bentuk papatuk/congo yang ramping dan panjang menyerupai paruh burung
kuntul (bangau putih). Bentuk papatuk kujang kuntul lebih ramping dibanding
kujang ciung. Sementara jumlah matanya biasanya ada empat.
3.
Kujang
Jago
Kujang jago
memiliki ukuran yang relatif kecil dibanding jenis kujang lainnya. Penamaan
kujang jago mengacu pada bentuknya yang menyerupai ayam jantan (jago) dengan
paruh menukik dan jawer yang menghiasi bagian si’ih. Ayam jago sendiri
merupakan simbol kejantanan sehingga kujang ini biasa dipakai untuk balapati
(kesaktian) atau jimat.
4.
Kujang
Naga
Seperti
kujang ciung, kujang naga juga sering ditemukan di wilayah kebudayaan Sunda.
Bentuknya memiliki ciri khas tersendiri, yaitu bagian waruga dan tadah yang
berbentuk lebar. Penamaan kujang naga merujuk pada makna naga itu sendiri,
melambangkan makhluk dunia atas yang disakralkan dan sering dijadikan simbol
kegagahan.
5.
Kujang Bangkong
Bagian waruga (badan) kujang bangkong
dilengkapi dengan bilah yang lebih lebar dan pendek sehingga menyerupai bentuk
bangun jajar genjang. Bangkong dalam bahasa Indonesia berarti katak. Katak
melambangkan makhluk dunia bawah, karena itu jenis kujang ini kebanyakan
digunakan oleh masyarakat petani.
0 Response to "KUJANG SENJATA TRADISIONAL KHAS JAWA BARAT"
Posting Komentar